Jejak Sadulur
Selasa, 14 September 2021
Minggu, 24 Juni 2012
lunturnya nilai pancasila
Lunturnya Nilai-nilai Pancasila
PANCASILA adalah ideologi dasar negara Indonesia.
Pancasila juga pedoman kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sayangnya, selama ini Pancasila tidak pernah dilihat sungguh-sungguh sebagai
ideologi bangsa Indonesia. Alhasil, nilai-nilai Pancasila mengalami
’’keterpinggiran’’ dari kehidupan masyarakat Indonesia sendiri.
Dampaknya, negeri ini sangat mudah
mengalami keguncangan-keguncangan moral akibat melemahnya implementasi
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, di era
keterbukaan dan globalisasi seperti sekarang sangat memungkinkan masuknya
ideologi-ideologi lain.
Ini tidak boleh dibiarkan. Sebab,
akan memunculkan persoalan kebangsaan yang membawa ancaman terhadap kekuatan
bangsa. Misalnya, konflik dan kekerasan sosial yang dipicu perbedaan latar
belakang etnis, primordialisme, dan agama. Kesantunan, toleransi, dan sikap
tepa selira juga telah meluntur. Kehebohan akan Negara Islam Indonesia juga
salah satu sebabnya karena melemahnya Pancasila.
Kita hendaknya harus belajar dari
pengalaman silam kala negeri ini diguncang oleh Gerakan 30 September. Namun
berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila, kita mampu melewatinya.
Untuk itu, menjadi tanggung jawab
kita bersama dalam menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.
Pancasila harus menjadi inspirasi membangun kehidupan berbangsa dan bernegara
serta kebersamaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perlu
gerakan-gerakan terstruktur, sistematis, dan masif yang melibatkan semua pihak
untuk merevitalisasi, menginternalisasi, dan mengimplementasikan nilai
Pancasila. Semoga
PANCASILA
adalah ideologi dasar negara Indonesia. Pancasila juga pedoman kehidupan
berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, selama ini Pancasila tidak
pernah dilihat sungguh-sungguh sebagai ideologi bangsa Indonesia. Alhasil,
nilai-nilai Pancasila mengalami ’’keterpinggiran’’ dari kehidupan masyarakat
Indonesia sendiri.
Dampaknya, negeri ini sangat mudah
mengalami keguncangan-keguncangan moral akibat melemahnya implementasi
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, di era
keterbukaan dan globalisasi seperti sekarang sangat memungkinkan masuknya
ideologi-ideologi lain.
Ini tidak boleh dibiarkan. Sebab,
akan memunculkan persoalan kebangsaan yang membawa ancaman terhadap kekuatan
bangsa. Misalnya, konflik dan kekerasan sosial yang dipicu perbedaan latar
belakang etnis, primordialisme, dan agama. Kesantunan, toleransi, dan sikap
tepa selira juga telah meluntur. Kehebohan akan Negara Islam Indonesia juga
salah satu sebabnya karena melemahnya Pancasila.
Kita hendaknya harus belajar dari
pengalaman silam kala negeri ini diguncang oleh Gerakan 30 September. Namun
berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila, kita mampu melewatinya.
Untuk itu, menjadi tanggung jawab
kita bersama dalam menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara.
Pancasila harus menjadi inspirasi membangun kehidupan berbangsa dan bernegara
serta kebersamaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perlu
gerakan-gerakan terstruktur, sistematis, dan masif yang melibatkan semua pihak
untuk merevitalisasi, menginternalisasi, dan mengimplementasikan nilai
Pancasila. Semoga
Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa
Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa
Ada sebuah momen yang sangat langka sekaligus
menggembirakan bagi persatuan dan kesatuan bangsa negeri ini pada peringatan
hari lahir Pancasila di Gedung MPR beberapa waktu lalu. Momen tersebut yakni,
berkumpulnya seluruh sisa pemimpin dan wakil pemimpin nomor satu dan dua dalam
sejarah Indonesia.
Presiden
ketiga BJ Habibie, presiden kelima Megawati Soekarnoputri serta presiden keenam
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lalu, ada juga para Wakil Presiden RI yakni Tri
Sutrisno,Hamzah Haz dan Jusuf Kalla.
Suatu keadaan menjadi riuh saat presiden kelima RI untuk pertama kalinya "mengakui" SBY sebagai Presiden Indonesia keenam. Hal itu terungkap ketika dia menyebut SBY sebagai Presiden Republik Indonesia pada awal sambutan pidatonya.
"Yang saya hormati Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono," kata Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan pidatonya tersebut. Tak pelak, sebutan Megawati Soekarnoputri itu disambut tepuk tangan riuh hadirin pada acara tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Megawati dan SBY berseteru sejak Pemilu 2004 silam, ketika SBY mundur dari kabinet Megawati Soekarnoputri. Pada pemilu itu, SBY-Jusuf Kalla akhirnya terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sejak itu, Megawati enggan bertemu SBY. Lalu, pada Pemilu 2009, SBY dan Megawati kembali saling berhadapan dalam pemilu. Tetapi lagi-lagi, Megawati kalah hanya dalam satu putaran.
Pancasila pada orde baru dijadikan sebagai tema
sentral dalam menggerakkan seluruh komponen bangsa ini. Maka dirumuskanlah
ketika itu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disinghkat
dengan P4. Pedoman itu berupa butir-butir pedoman berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai yang ada pada butir-butir P4 tersebut
sebenarnya tidak ada sedikitpun yang buruk atau ganjil, oleh karena itu,
menjadi mudah diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Hanya saja tatkala
memasuki era reformasi, oleh karena pencetus P4 tersebut adalah
orang yang tidak disukai, maka buah pikirannya pun dipandang harus dibuang,
sekalipun baik. P4 dianggap tidak ada gunanya. Rumusan P4 dianggap sebagai alat
untuk memperteguh kekuasaan. Oleh karena itu, ketika penguasa yang bersangkutan
jatuh, maka semua pemikiran dan pandangannya dianggap tidak ada gunanya lagi,
kemudian ditinggalkan.
Sementara
itu, era reformasi belum berhasil melahirkan
idiologi pemersatu bangsa yang baru. Pada saat itu semangatnya
adalah memperbaiki pemerintahan yang dianggap korup, menyimpang, dan
otoriter, dan kemudian haraus diganti dengan semangat demokratis.
Pemerintah harus berubah dan bahkan undang-undang dasar 1945 harus diamandemen.
Beberapa hal yang masih didanggap sebagai identitas bangsa, dan harus
dipertahankan adalah bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia raya,
dan lambang Buirung Garuda. Lima prinsip dasar yang mengandung
nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara, yang selanjutnya
disebut Pancasila, tidak terdengar lagi, dan apalagi P4.
Namun
setelah melewati sekian lama masa reformasi, dengan munculnya idiologi
baru, semisal NII dan juga lainnya, maka memunculkan kesadaran baru,
bahwa ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dianggap penting
untuk digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap sebagai alat pemersatu
bangsa yang tidak boleh dianggap sederhana hingga dilupakan. Pancasila dianggap
sebagai alat pemersatu, karena berisi cita-cita dan gambaran tentang
nilai-nilai ideal yang akan diwujudkan oleh bangsa ini.
Bangsa
Indonesia yang bersifat majemuk, terdiri atas berbagai agama, suku bangsa, adat
istiadat, bahasa daerah, menempati wilayah dan kepulauan yang
sedemikian luas, maka tidak mungkin berhasil disatukan tanpa alat
pengikat. Tali pengikat itu adalah cita-cita, pandangan hidup yang dianggap
ideal yang dipahami, dipercaya dan bahkian diyakini sebagai sesuatu yang
mulia dan luhur. Memang setiap agama pasti memiliki ajaran tentang
gambaran kehidupan ideal, yang masing-masing
berbeda-beda. Perbedaan itu tidak akan mungkin dapat dipersamakan.
Apalagi, perbedaan itu sudah melewati dan memiliki sejarah panjang.
Akan tetapi, masing-masing pemeluk agama lewat para tokoh atau pemukanya,
sudah berjanji dan berekrar akan membangun negara kesatuan berdasarkan
Pancasila itu. Memang ada sementara pendapat, bahwa agama akan bisa
mempersatukan bangsa. Dengan alasan bahwa masing-masing agama selalu
mengajarkan tentang persatuan, kebersamaan dan tolong menolong, sebagai
dasar hidup bersama. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit konflik
yang terjadi antara penganut agama yang berbeda. Tidak sedikit orang
merasakan bahwa perbedaan selalu menjadi halangan untuk bersatu. Maka
Pancasila, dengan sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, merangkum
dan sekaligus menyatukan pemeluk agama yang berbeda itu. Mereka
yang berbeda-beda dari berbagai aspeknya itu dipersatukan oleh
cita-cita dan kesamaan idiologi bangsa ialah Pancasila.
Itulah
sebabnya, maka melupakan Pancasila sama artinya dengan mengingkari
ikrar, kesepakatan, atau janji bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa
Indonesia. Selain itu, juga dem ikian, manakala muncul kelompok
atau sempalan yang akan mengubah kesepakatan itu, maka sama artinya
dengan melakukan pengingkaran sejarah dan janji yang telah disepakati
bersama. Maka, Pancasila adalah sebagai tali pengikat bangsa yang harus
selalu diperkukuh dan digelorakan pada setiap saat. Bagi bangsa Indonesia
melupakan Pancasila, maka sama artinya dengan melupakan kesepakatan dan bahkan
janji bersama itu.Oleh sebab itu, Pancasila, sejarah dan
filsafatnya harus tetap diperkenalkan dan diajarkan kepada segenap warga bangsa
ini, baik lewat pendidikan formal maupun non formal. Pancasila memang
hanya dikenal di Indonesia, dan tidak dikenal di negara lain. Namun hal itu
tidak berarti, bahwa bangsa ini tanpa Pancasila bisa seperti bangsa lain.
Bangsa Indonesia memiliki sejarah, kultur, dan sejarah politik yang berbeda
dengan bangsa lainnya. Keaneka-ragaman bangsa Indonesia memerlukan alat
pemersatu, ialah Pancasila
Pancasila=Pemersatu Bangsa
Dengungan para pendiri negara saat menyatakan bahwa Pancasila sebagai pemersatu bangsa, ternyata bukan hanya isapan jempol belaka. Hal ini telah membuktikan bahwa Pancasila dapat membawa perubahan besar dalam mempersatukan bangsa di republik ini.
Duduk bersama dengan tidak melihat warna politik tertentu antar para pemimpin merupakan sebuah momen yang sangat langka dalam perpolitikan kita. Tentu sangat jelas bahwa pada peringatan Pancasila tersebut dapat mempersatukan para insan pemimpin negeri ini untuk satu tekad dan berkomitmen satu yakni memajukan negara kesatuan Republik Indonesia.
Sejak awal reformasi digulirkan, negeri kita seakan tidak berdaya akibat kebablasan dalam berdemokrasi. Saling rebut merebut kekuasaan dengan berbagai cara kotor perpolitikan adalah hal yang seakan telah menjadi lumrah. Maka tak heran bangsa kita dikhawatirkan dapat terpecah belah akibat perburuan kekuasaan tersebut. Kini, Pancasila seakan telah mempersatukan bangsa yang telah terancam perpecahan antar kelompok.
Ideologi mempersatukan bangsa dalam Pancasila tertuang dalam sila ketiga yakni "Persatuan Indonesia". Para pendiri negara, Pancasila sesungguhnya dirumuskan untuk dapat memperkuat tali persatuan bangsa yang terbentang sangat luas di seluruh nusantara. Bahkan, dengan kehadiran Pancasila, negeri kita dapat mencegah segala aksi separatis dan radikalisme yang semakin marak dalam dasawarsa terakhir ini.
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan naskah asli yang hingga saat ini tidak berubah sedikitpun meskipun rezim kepemimpinan silih berganti dan konstitusi dapat berubah. Tentu saja Pancasila dapat menjadi magnet yang mempererat tali persatuan bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila "Persatuan Indonesia" yakni, (1) Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. (2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. (3) Cinta Tanah Air dan Bangsa. (4) Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia. (5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Degradasi Pancasila
Sudah menjadi perbincangan yang hangat di tengah kehidupan berbangsa kita saat ini bahwa Pancasila dalam keadaan yang sangat menghawatirkan dan terjadi degradasi pemahaman dan pengamalan Pancasila oleh bangsa kita. Sesungguhnya apa yang mendasari bahwa Pancasila tidak lagi diamalkan oleh bangsa Indonesia? Salah satunya yakni pengajaran dalam pendidikan kita tidak lagi mengenal akan pentingnya pendidikan muatan Pancasila dari segala tingkat pendidikan.
Telah menjadi hal yang bernuansa modern bahwa pendidikan modern dengan tren internasional selalu dikedepankan dengan penguatan pendidikan berbasis sains dan teknologi. Tidak salah memang apabila dunia pendidikan berbasis sains dan teknologi, mengingat kemajuan dan pesatnya dunia informasi di tengah arus globalisasi. Akan tetapi, pendidikan tersebut segalanya akan ambruk manakala pengajaran terhadap Pancasila tidak dikenal dan diamalkan. Sebab, dalam pemahaman Pancasila terdapat nilai-nilai Ketuhanan, sikap kebersamaan, saling tolong-menolong, toleransi, bersahaja, mempunyai kepekaan sosial, berakhlak mulia, serta berakidah.
Tentu saja apabila sikap tersebut terpancar dalam diri seorang, maka segala tingkah laku dan perbuatan orang tersebut dapat lebih bermartabat dan berakhlak mulia untuk mengarungi kehidupan. Berbeda halnya dengan pendidikan yang hanya mengedepankan sains. Meskipun melek dalam teknologi, tetapi apabila tidak adanya pemahaman terhadap pendidikan Pancasila, dikhawatirkan seorang tersebut akan bertindak negatif dan berperilaku menyimpang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini
Degradasi Pancasila memang telah dialami negara kita saat ini. Perilaku korupsi secara jamak, saling berebut kekuasaan dengan berbagai cara kotor, para pemimpin yang sering menzholimi rakyatnya, serta berbagai tindak kekerasan dan kejahatan yang tiada henti-hentinya membuktikan bahwa nilai Pancasila belum diamalkan oleh bangsa kita. Kemudian, hal lain diperparah dengan segala aksi yang bukannya membuat perubahan lebih baik, melainkan hanya memperkeruh dan memudarkan persatuan bangsa.
Kini, sudah selayaknya Pancasila harus direvitalisasikan dalam kehidupan bernegara di seluruh lapisan masyarakat kita agar segala tindakan dan perilaku para penyelenggara negara dan juga warga negara sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam Pancasila. Sebab, dengan mengamalkan Pancasila, negeri kita dapat memperkokoh tali persatuan dan kesatuan bangsa
Minggu, 06 Mei 2012
Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja
|
Pada
masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih
bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan
tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat
pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga
masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang
berlaku di sekitar remaja.
Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok. Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar. Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group. Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri. Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi. Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif. Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular. Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres. Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja. Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja. Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan. Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan. |
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukan Kepribadian
Aneka warna materi yang menjadi isi
dan sasaran dari pengetahuan, perasaan, kehendak, serta keinginan kepribadian
serta perbedaan kualitas hubungan antara berbagai unsur kepribadian dalam
kesadaran individu, menyebabkan adanya beraneka macam struktur kepribadian pada
setiap manusia yang hidup di muka bumi, unik dan berbeda dengan kepribadian
individu yang lain.
Diantara aneka warna materi tersebut
ada yang menyebabkan terjadinya satu tingkah laku berpola disebut dengan
kebiasaan (habit), menyebabkan timbulnya adat-istiadat (customs) yang dalam hal
ini bermakna sebagai suatu pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh
sebagian besar warga suatu masyarakat, materi yang menyebabkan timbulnya
kepribadian (personality), serta segala macam tingkah-laku yang menjadi pola
umum bagi sebagian besar masyarakat yang diatur dalam adat-istiadat
(kepribadian umum), biasanya berwujud pola-pola tindakan yang saling berkaitan
satu dengan lain itu, biasanya disebut dengan sistem sosial (social system).
Kepribadian umum (modal personality) adalah
kepribadian yang ada pada sebagian besar warga suatu masyarakat, yang disebut
juga dengan istilah watak umum.Pembentukan kepribadian seseorang berlangsung
dalam suatu proses yang disebut dengan sosialisasi, yaitu suatu proses dengan
mana seseorang menghayati (mendarah-dagingkan-internalize) norma-norma kelompok
dimana ia hidup sehingga muncullah dirinya yang “unik”.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan
kepribadian sebagai proses sosialisasi mencakup:
1. Warisan biologis.
2. Lingkungan fisik.
3. Kebudayaan.
4. Pengalaman kelompok.
5. pengalaman unik.
2. Lingkungan fisik.
3. Kebudayaan.
4. Pengalaman kelompok.
5. pengalaman unik.
A. Warisan Biologis
Semua manusia yang normal dan sehat
mempunyai persamaan biologis tertentu, seperti mempunyai dua tangan, panca
indera, kelenjar seks, dan otak yang rumit. Persamaan biologis ini membantu
menjelaskan beberapa persamaan dalam kepribadian dan perilaku semua orang,Setiap
warisan biologis seserang juga bersifat unik, yang berarti, bahwa tidak seorang
pun (kecuali anak kembar) yang mempunyai karakteristik fisik yang hampir sama, Beberapa
orang percaya bahwa kepribadian seseorang tidak lebih dari sekedar penampilan
warisan biologisnya. Karakteristik kepribadian seperti ketekunan, ambisi,
kejujuran, kriminalitas, kelainan seksual, dan ciri yang lain dianggap timbul
dari kecenderungan-kecenderungan turunan.
Bahkan ada yang beranggapan, melalui
tampilan fisik dapat diketahui bagaimana kepribadian orang tersebut. Contoh
dalam hal ini dapat dilihat dalam buku-buku primbon Jawa, mulai dari fisik,
rambut, kulit, bentuk muka, hingga tahi lalat.
Dewasa ini tidak banyak lagi yang masih mempercayai
anggapan ini. Pandangan sekarang ini menyatakan bahwa kepribadian seseorang
dibentuk oleh pengalaman. Sebenarnya perbedaan individual dalam kemampuan,
prestasi, dan perilaku hampir semuanya berhubungan dengan lingkungan, dan bahwa
perbedaan individu dalam warisan biologis tidak begitu penting, Fenomena
kontradiktif ini, antara “bawaan dan asuhan”, berlangsung cukup lama, dan
masing-masing memiliki penganut yang cukup besar. Suatu penelitian terhadap
2.500 anak kembar siswa SLTA merupakan salah satu langkah untuk mencari derajat
kebenaran dari masing-masing anggapan dikemukakan oleh Nichols (1977), hasilnya
menyimpulkan bahwa hampir setengah variasi di antara orang-orang dalam spektrum
ciri-ciri psikologis yang luas adalah akibat dari perbedaan karakteristik
genetis, sedangkan setengahnya lagi adalah akibat lingkungan.
Penelitian lain dilaksanakan
Medico-genetical Institute di Moskow, yang memisahkan seribu pasangan anak
kembar ketika masih bayi dan menempatkan mereka dalam lingkungan yang
terkendali untuk diamati selama 2 tahun. Hasilnya mendukung dengan jelas suatu
dasar keturunan dalam beberapa ciri, termasuk perbedaan kecerdasan, Masalah
warisan biologis/keturunan versus lingkungan pada dasarnya bukan hanya masalah
ilmiah, tetapi juga politis. Seperti gusarnya golongan Marxis (penganut ajaran
Marx) melihat bukti bahwa ada perbedaan dalam kecakapan bawaan, kalangan
konservatif (kolot, konvensional, tradisional) yang dengan senang hati
menggunakan bukti kecakapan warisan yang berbeda untuk memperoleh hak yang
berbeda, Perbedaan individual dalam warisan biologis adalah nyata, terlepas
dari apakah kenyataannya demikian menyebabkan seseorang bahagia atau tidak.
Untuk beberapa ciri, warisan biologis lebih penting daripada yang lain.
Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa IQ anak angkat lebih mirip
dengan IQ orang tua kandungnya daripada dengan orang tua angkatnya (Horton,
1993). Namun, meskipun perbedaan individual dalam IQ tampaknya lebih banyak
ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan, banyak perbedaan yang
lainnya ditentukan oleh lingkungan. Suatu studi baru-baru ini menemukan bukti
bahwa faktor keturunan berpengaruh kuat terhadap keramah-tamahan, perilaku kompulsif
(memaksa) dan kemudahan dalam pergaulan sosial, tetapi faktor keturunan tidak
begitu penting dalam kepemimpinan, pengendalian dorongan impulsif (cepat
bertindak), sikap, dan minat.
Kesimpulannya, bahwa warisan biologis penting dalam
beberapa ciri kepribadian dan kurang penting dalam hal-hal lain. Tidak ada
kasus yang dapat mengukur pengaruh keturunan dan lingkungan dengan tepat,
tetapi banyak ilmuwan sependapat bahwa apakah potensi warisan seseorang
berkembang sepenuhnya, sangat dipengaruhl oleh pengalaman sosial orang yang
bersangkutan, Beberapa orang berpandangan bahwa orang gemuk adalah periang,
bahwa orang dengan kening yang lebar cerdas, bahwa orang berambut merah
berwatak mudah meledak/marah, bahwa orang dengan rahang lebar mempunyai
kepribadian yang kuat. Banyak keyakinan umum seperti itu telah terbukti tidak
benar ketika diuji secara empiris, meskipun kadang-kadang ditemukan beberapa
hubungan yang absah, Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Bar (1977)
dengan membandingkan kelompok sampel berambut merah dengan suatu kelompok
kendali yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai warna rambut dan
melaporkan bahwa watak si rambut merah umumnya memang lebih sering
meledak-ledak dan agresif. la mengemukakan adanya hubungan genetis antara karakteristik
fisik (rambut merah) dengan karakteristik kepribadian (mudah meledak, agresif).
Penjelasan lain menyatakan bahwa setiap karakteristik
fisik didefinisikan secara sosial dan kultural dalam setiap masyarakat (Horton,
1993). Misalkan, gadis gemuk dikagumi di Dahomey. Suatu karakteristik fisik
dapat menjadikan seseorang cantik dalam suatu masyarakat dan menjadi “anak
bebek buruk rupa” dalam masyarakat lain. Oleh karena itu, karakteristik fisik
tertentu menjadi suatu faktor dalam perkembangan kepribadian sesuai dengan
bagaimana ia didefinisikan dan diperlakukan dalam masyarakat dan oleh kelompok
acuan seseorang. Kalau orang berambut merah diharapkan mudah meledak dan
dibenarkan kalau marah, tidak mengherankan bila mereka menjadi pemarah.
Sebagaimana dinyatakan diatas, orang menanggapi harapan perilaku dari orang
lain dan cenderung menjadi berperilaku seperti yang diharapkan oleh orang lain
tersebut, Sebagai kesimpulan, karakteristik fisik jarang menghasilkan
sifat-sifat perilaku tertentu, harapan sosial dan kulturallah yang
menyebabkannya
demikian.
demikian.
B. Lingkungan Fisik
Sorokin (1928) menyimpulkan teori
beratus-ratus penulis dari Conficius, Aristoteles, dan Hipocrates sampai kepada
ahli geografi Ellsworth Huntington, yang menekankan bahwa perbedaan perilaku kelompok
terutama disebabkan oleh perbedaan iklim, topografi, dan sumber alam. Teori
tersebut sesuai benar dengan kerangka etnosentris (pandangan yang menyatakan
anggota badan kita lebih baik dibandingkan dengan lainnya, karena geografi
memberikan keterangan yang cukup baik dan jelas objektif terhadap kebajikan
nasional dan sifat-sifat buruk orang lain, Pada umumnya diakui bahwa lingkungan
fisik mempengaruhi kepribadian. Bangsa Athabascans memiliki kepribadian yang
dominan yang menyebabkan mereka dapat bertahan hidup dalam iklim yang lebih
dingin daripada daerah Arctic.
Orang pedalaman Australia harus
berjuang dengan gigih untuk tetap hidup, padahal bangsa Samoa hanya memerlukan
sedikit waktu setiap harinya untuk mendapatkan lebih banyak makanan daripada
yang bisa mereka makan. Malah sekarang beberapa daerah hanya dapat menolong
sebagian kecil penduduk yang tersebar sangat jarang, dan kepadatan penduduk
mempengaruhi kepribadian. Suku Ik dari Uganda sedang mengalami kelaparan secara
perlahan, karena hilangnya tanah tempat perburuan tradisional, dan menurut
Turnbull (1973) mereka menjadi sekelompok orang yang paling tamak, paling rakus
di dunia; sama sekali tidak memiliki keramahan, tidak suka menolong atau tidak
mempunyai rasa kasihan, malah merebut makanan dari mulut anak mereka dalam
perjuangan mempertahankan hidup. Suku Quolla dari Peru digambarkan oleh Trotter
(1973) sebagai sekelompok orang yang paling keras di dunia, dan ia
menghubungkan hal ini dengan hipoglikemia (menurunnya kandungan glukosa darah)
yang timbul karena kekurangan makanan, Jelaslah bahwa lingkungan fisik
mempengaruhi kepribadian dan perilaku. Namun, dari lima faktor tersebut di
atas, lingkungan fisik merupakan faktor yang paling tidak penting, jauh kurang
pentingnya dari faktor kebudayaan, pengalaman kelompok, atau pengalaman unik.
C. Kebudayaan
Beberapa pengalaman umum bagi
seluruh kebudayaan, dimana bayi dipelihara atau diberi makan oleh orang yang
lebih tua, hidup dalam kelompok, belajar berkomunikasi melalui bahasa,
mengalami hukuman dan menerima imbalan/pujian dan semacamnya, serta mengalami
pengalaman lain yang umum dialami oleh jenis manusia, Setiap masyarakat
sebenarnya memberikan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat
lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial yang sebenarnya yang umum bagi
seluruh anggota masyarakat tertentu, timbullah konfigurasi kepribadian yang
khas dari anggota masyarakat tersebut. DuBois menyebutnya sebagai “modal
personality” (diambil dari istilah statistis “mode” yang mengacu pada suatu
nilai yang paling sering timbul dalam berbagai seri).
Beberapa contoh dari pengaruh unsur
kebudayaan terhadap kepribadian, sebagaimana kasus suku Dobu di Melanisia
(Horton, 1993). Anak suku Dobu yang lahir ke dunia hanya pamannya yang mungkin menyayanginya,
terhadap siapa ia akan menjadi ahli warisnya, Ayahnya yang lebih tertarik
kepada anak-anak saudara perempuannya biasanya membencinya, karena si ayah
harus menunggu sampai anak tersebut disapih untuk dapat melakukan hubungan
seksual dengan ibunya. Sering juga ia tidak diharapkan oleh ibunya dan tidak
jarang terjadi pengguguran, Hidup suku Dobu diatur oleh ilmu sihir, penyebab
kejadian bukan berasal dari alam; semua gejala dikendalikan oleh ilmu sihir
yang telah dikenakan terhadap seseorang dan menyebabkan balas dendam dari
keluarganya. Bahkan mimpipun diinterpretasikan sebagai sihir. Malah nafsu
seksual tidak akan muncul apabila tidak menanggapi penyihiran cinta orang lain,
yang membimbingnya menuju kepadanya, sementara daya sihir cinta seseorang
menunjukkan keberhasilannya. Setiap orang Dobu selalu merasa takut akan
diracun. Makanan dijaga dengan waspada pada waktu dimasak dan hanya dengan
beberapa orang tertentulah orang Dobu bersedia makan bersama. Setiap saat
setiap desa melindungi diri dari semua pasangan yang berkunjung dari desa lain,
dan semua tamu ini tidak dapat dipercayai oleh yang punya rumah dan para tamu
sendiri tidak saling percaya. Sungguh tidak seorang pun dapat dipercaya penuh;
para suami cemas terhadap sihir isterinya dan takut terhadap mertua. Sepintas
lalu, hubungan sosial di Dobu adalah cerah dan sopan meskipun keras dan tanpa
humor. Pertentangan hanyalah sedikit, karena menghina atau bermusuhan
berbahaya. Namun, teman-teman juga berbahaya. Persahabatan mungkin merupakan awal
pengracunan atau pengumpulan bahan (rambut, kuku tangan) yang berguna untuk
menyihir.
Kepribadian yang berkembang dalam
kebudayaan semacam itu? setiap orang Dobu bersifat bermusuhan, curiga, tidak
dapat dipercaya, cemburu, penuh rahasia, dan tidak jujur. Sifat-sifat ini
merupakan tanggapan yang rasional, karena orang Dobu hidup dalam dunia yang
penuh kejahatan, dikelilingi musuh dan tukang sihir, Pada akhirnya mereka yakin
akan dihancurkan. Walaupun mereka melindungi diri dengan sihir mereka, tetapi
mereka tidak pemah merasakan perlindungan yang nyaman. Mimpi buruk mungkin
menyebabkan mereka terkapar di tempat tidur berhari-hari. dan ini adalah suatu
hal yang nyata, benar bukan hayalan/irasional, Contoh kasus lain adalah yang
terjadi pada suku Zuni di Meksiko, yang diidentifikasikan sebagai bangsa yang
tenang dalam lingkungan yang sehat secara emosional. Kelahiran anak disambut
dengan hangat, diperlakukan dengan kemesraan yang lembut dan banyak mendapat
kasih sayang. Tanggung jawab dalam mendidik anak sungguh besar dan menyebar;
seorang anak akan ditolong atau diperhatikan oleh setiap orang dewasa yang ada.
Menghadapi benteng orang dewasa yang terpadu, anak-anak jarang berperilaku
salah; dan sekalipun mungkin dikata-katai, tetapi jarang dihukum. Rasa malu adalah
alat kendali yang paling utama yang sangat sering ditimbulkan di depan orang
lain, Berkelahi dan perilaku agresif sangat tidak disetujui dan orang Zuni
dididik untuk mengendalikan nafsu mereka pada usia muda. Pertengkaran terbuka
hampir tidak tampak. Nilai-nilai orang Zuni menekankan hormat, kerja sama dan
ketiadaan persaingan, agresivitas atau keserakahan. Ketidakwajaran dalam segala
bentuk ditolak, dan alkohol umumnya ditolak karena mendorong perilaku yang
tidak wajar. Harta dinilai untuk penggunaan langsung, bukan untuk prestise atau
simbol kekuasaan.
Walaupun orang Zuni tidak ambisius, mereka memperoleh
kekuasaan melalui pengalaman dalam upacara, nyanyian, dan fetis agama. Seorang
yang “miskin” bukanlah orang yang tidak memiliki harta, tetapi orang yang tidak
memiliki sumber dan hubungan yang bersifat upacara (seremonial). Kehidupan
upacara memenuhi setiap segi kehidupan orang Zuni.
Kerja sama, perilaku yang wajar dan
minimnya individualisme meresap dalam perilaku orang Zuni. Milik pribadi
tidaklah penting dan siap untuk dipinjamkan pada orang lain. Anggota rumah
tangga yang bersifat matrilineal bekerja bersama sebagai suatu kelompok dan
hasil tanaman disimpan dalam gudang umum. Setiap orang bekerja untuk
kepentingan
kelompok, bukan untuk kepentingan pribadi. Peran pemimpin jarang dicari tetapi harus dipaksakan pada seseorang. Isyu dan perselisihan diselesaikan secara wajar bukan dengan permohonan pada penguasa atau dengan mempertunjukkan kekuasaan atau dengan perdebatan yang berkepanjangan, tetapi dengan diskusi yang lama dan sabar. Keputusan mayoritas sederhana tidak menyelesaikan persoalan secara menyenangkan, kesepakatan (konsensus) perlu dan kesepakatan bulat diharapkan.
kelompok, bukan untuk kepentingan pribadi. Peran pemimpin jarang dicari tetapi harus dipaksakan pada seseorang. Isyu dan perselisihan diselesaikan secara wajar bukan dengan permohonan pada penguasa atau dengan mempertunjukkan kekuasaan atau dengan perdebatan yang berkepanjangan, tetapi dengan diskusi yang lama dan sabar. Keputusan mayoritas sederhana tidak menyelesaikan persoalan secara menyenangkan, kesepakatan (konsensus) perlu dan kesepakatan bulat diharapkan.
Bagaimana perkembangan kepribadian
orang Zuni? sangat bertentangan dengan kepribadian normal di antara orang Dobu.
Bila bangsa Dobu bersifat curiga dan tidak dapat dipercaya, bangsa Zuni
mempunyai kepercayaan diri dan dapat dipercaya; bila bangsa Dobu cemas dan
merasa tidak aman, bangsa Zuni merasa aman dan tentram. Bangsa Zuni umumnya
memiliki watak yang suka mengalah dan pemurah, sopan dan suka bekerja sama.
Bangsa Zuni adalah orang-orang konformis yang tanpa pikir, karena menjadi
seseorang yang nyata-nyata berbeda dari orang lain dapat menyebabkan seseorang
atau kelompok itu sangat cemas. Hal ini membantu mengendalikan perilaku tanpa
perasaan berdosa dan bersalah yang banyak ditemukan dalam banyak masyarakat, Bertolak
dari contoh di atas, dapat diketahui ada beberapa segi dari kebudayaan yang
mempengaruhi proses perkembangan kepribadian, yaitu norma-norma kebudayaan
masyarakat dan proses sosialisasi diri, Norma-norma kebudayaan yang ada dalam
lingkungan masyarakat mengikat manusia sejak saat kelahirannya. Seorang anak
diperlakukan dalam cara-cara yang membentuk kepribadian. Setiap kebudayaan
menyediakan seperangkat pengaruh umum, yang sangat berbeda dari masyarakat ke
masyarakat. Linton mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian
pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan masyarakat, Pengaruh-pengaruh
ini berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain, tetapi semuanya merupakan
denominator pengalaman bagi setiap orang yang termasuk ke dalam masyarakat
tersebut.
Penelitian dalam soal perkembangan
kepribadian dalam kebudayaan juga telah gagal dalam membuktikan teori Freud
tentang hasil cara mengasuh anak yang khusus. Dimana hasilnya menunjukkan bahwa
suasana lingkungan keseluruhan merupakan hal penting dalam perkembangan
kepribadian, bukan cara tertentu yang spesifik. Apakah seorang anak diberi susu
ASI atau susu botol, tidaklah penting; yang penting adalah apakah cara
pemberian susu itu dilakukan dalam kondisi yang merupakan suasana mesra dan
penuh kasih sayang dalarn dunia yang hangat dan aman; atau kejadian biasa yang
terburu-buru dalam situasi yang tanpa perasaan, kurang tanggap dan tidak akrab,
Seorang bayi lahir ke dunia ini sebagai suatu organisme kecil yang egois yang
penuh dengan segala macam kebutuhan fisik. Kemudian ia menjadi seorang manusia
dengan seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan ketidaksukaan, tujuan serta
maksud, pola reaksi, dan konsep yang mendalam serta konsisten tentang dirinya.
Setiap orang memperoleh semua itu melalui suatu proses yang disebut
sosialisasi.
Sosialisasi adalah suatu proses dengan mana seseorang
menghayati (mendarah dagingkan-internalize) norma-nonna kelompok di mana ia
hidup sehingga timbullah “diri” yang unik.
D. Pengalaman Kelompok
Pada awal kehidupan manusia tidak
ditemukan apa yang disebut diri. Terdapat organisme fisik, tetapi tidak ada
rasa pribadi. Kemudian bayi mencoba merasakan batas-batas tubuhnya, mereka
mulai mengenali orang. Kemudian beranjak dari nama yang membedakan status
menjadi nama yang mengidentifikasi individu, termasuk dirinya. Kemudian mereka
menggunakan kata “saya” yang merupakan suatu tanda yang jelas atas kesadaran
diri yang pasti. Suatu tanda bahwa anak tersebut telah semakin sadar sebagai
manusia yang berbeda dari yang lainnya, Dengan kematangan fisik serta akumulasi
pengalaman-pengalaman sosialnya anak itu membentuk suatu gambaran tentang
dirinya. Pembentukan gambaran diri seseorang mungkin merupakan proses tunggal
yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian, Pengalaman sosial merupakan
suatu hal penting untuk pertumbuhan manusia. Perkembangan kepribadian bukanlah
hanya sekedar pembukaan otomatis potensi bawaan. Tanpa pengalaman kelompok,
kepribadian manusia tidak berkembang. Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia
membutuhkan pengalaman kelompok yang intim bila mereka ingin berkembang sebagai
makluk dewasa yang normal.
Keberadaan kelompok dalam masyarakat
merupakan suatu hal penting dalam perkembangan kepribadian seseorang, karena
kelompokkelompok ini merupakan model untuk gagasan atau norma-norma perilaku
seseorang. Kelompok semacam itu disebut kelompok acuan (reference group).
Mula-mula kelompok keluarga adalah kelompok yang terpenting, karena kelompok
ini merupakan kelompok satu-satunya yang dimiliki bayi selama masa-masa yang
paling peka. Semua yang berwenang setuju bahwa ciri-ciri kepribadian dasar dari
individu dibentuk pada tahun-tahun pertama ini dalam lingkungan keluarga.
Kemudian, kelompok sebaya (peer group), yakni kelompok lain yang sama usia dan
statusnya, menjadi penting sebagai suatu kelompok referens. Kegagalan seorang
anak untuk mendapatkan pengakuan sosial dalam kelompok sebaya sering diikuti
oleh pola penolakan sosial dan kegagalan sosial seumur hidup. Apabila seorang
belum memiliki ukuran yang wajar tentang penerimaan kelompok sebaya adalah sulit,
kalau tidak dapat dikatakan mustahil, bagi seorang untuk mengembangkan gambaran
diri yang dewasa sebagai seorang yang berharga dan kompeten, Kelompok acuan ini
dalam perkembangannya mengalami pergantian seiring dengan usia dan aktifitas
individu yang bersangkutan. Hanya perlunya disadari bahwa dari ratusan
kemungkinan kelompok referens yang menjadi penting bagi setiap orang dan dari
evaluasi kelompok ini gambaran diri seseorang secara terus-menerus dibentuk dan
diperbaharui, Oleh karena itu, tidaklah salah kalau dikatakan bahwa setiap
individu bisa menjadi acuan atau referens bagi individu lainnya dalam
pembentukan kepribadian yang bersangkutan, demikian juga sebaliknya, Masyarakat
yang kompleks/majemuk memiliki banyak kelompok dan kebudayaan khusus dengan
standar yang berbeda dan kadangkala bertentangan. Seseorang dihadapkan pada
model-model perilaku yang pada suatu saat dipuji sedang pada saat lain dicela
atau disetujui oleh beberapa kelompok dan dikutuk oleh kelompok lainnya. Dengan
demikian seorang anak akan belajar bahwa ia harus “tangguh” dan mampu untuk
“menegakkan haknya”, namun pada saat yang sama ia pun harus dapat berlaku
tertib, penuh pertimbangan dan rasa hormat. Dalam suatu masyarakat di mana
setiap orang bergerak dalam sejumlah kelompok dengan standar dan nilai yang
berbeda, setiap orang harus mampu menentukan cara untuk mengatasi
tantangan-tantangan yang serba bertentangan.
E. Pengalaman yang Unik
Mengapa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang sama sedemikian berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun
mereka pernah mendapatkan pengalaman yang sama? Masalahnya adalah karena mereka
tidak mendapatkan pengalaman yang sama; mereka pernah mendapatkan pengalaman
yang serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam beberapa hal lainnya, Setiap
anak memasuki suatu unit/kesatuan keluarga yang berbeda. Anak yang dilahirkan
pertama, yang merupakan anak satu-satunya sampai kelahiran anak yang kedua,
kemudian akan mempunyai adik laki-laki atau perempuan dengan siapa ia dapat
bertengkar. Orang tua berubah dan tidak memperlakukan sama semua anak-nya.
Anak-anak memasuki kelompok sebaya yang bebeda, mungkin mempunyai guru yang
berbeda dan berhasil melampaui peristiwa yang berbeda pula, Sepasang anak
kembar mempunyai warisan (heredity) yang identik dan (kecuali bila dipisahkan)
lebih cenderung memperoleh pengalaman yang sama. Mereka berada dalam suatu
keluarga bersama-sama, seringkali mempunyai kelompok sebaya yang sama, dan
diperlakukan kurang lebih sama oleh orang lain; akan tetapi bahkan anak kembar
pun tidakalami bersama seluruh peristiwa dan pengalaman. Karena pengalaman
setiap orang adalah unik dan tidak ada persamaannya. Pengalaman sendiripun
tidak ada yang secara sempurna dapat menyamainya.
Suatu inventarisasi dari pengalaman sehari-hari berbagai
anak-anak dalam suatu keluarga yang sama akan mengungkapkan banyaknya
perbedaan. Maka setiap anak (terkecuali anak kembar yang identik) mempunyai
warisan biologis yang unik, yang benar-benar tidak seorangpun dapat
mehyamainya, dan demikian pula halnya suatu rangkaian pengalaman hidup yang
unik tidak dapat benar-benar disamai oleh pengalaman siapapun, Pengalaman
tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Kepribadian tidaklah dibangun
dengan menyusun suatu peristiwa di atas peristiwa lainnya sebagaimana membangun
tembok bata. meniru satu sama lainnya, akan tetapi mereka juga berusaha untuk
memiliki identitas sendiri. Anak-anak yang lebih muda seringkali menolak
kegiatan yang telah dikerjakan dengan baik oleh kakak-kakaknya, dan mencari
pengakuan melalui kegiatan-kegiatan lainnya. Tanpa disadari, orang tua membantu
proses seleksi ini. Seorang ibu dapat mengatakan, “Susi si kecil adalah
pembantu mama, tetapi aku pikir Anna akan menjadi anak perempuan yang
kelaki-lakian”, ketika Susi mulai merapikan meja, sedangkan Anna sedang
berjumpalitan di tangga, Jadi dalam hubungan ini dan dalam banyak hal lainnya
setiap pengalaman hidup seseorang adalah unik. Unik dalam pengertian tidak
seorangpun mengalami serangkaian pengalaman seperti ini dengan cara yang persis
sama dan unik dalam pengertian bahwa tidak seorangpun mempunyai latar belakang
pengalaman yang sama, setiap peristiwa baru akan menimbulkan pengaruh yang akan
dapat diperoleh suatu makna.
Langganan:
Postingan (Atom)