Minggu, 24 Juni 2012

lunturnya nilai pancasila


Lunturnya Nilai-nilai Pancasila

PANCASILA adalah ideologi dasar negara Indonesia. Pancasila juga pedoman kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, selama ini Pancasila tidak pernah dilihat sungguh-sungguh sebagai ideologi bangsa Indonesia. Alhasil, nilai-nilai Pancasila mengalami ’’keterpinggiran’’ dari kehidupan masyarakat Indonesia sendiri.
    Dampaknya, negeri ini sangat mudah mengalami keguncangan-keguncangan moral akibat melemahnya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, di era keterbukaan dan globalisasi seperti sekarang sangat memungkinkan masuknya ideologi-ideologi lain.
    Ini tidak boleh dibiarkan. Sebab, akan memunculkan persoalan kebangsaan yang membawa ancaman terhadap kekuatan bangsa. Misalnya, konflik dan kekerasan sosial yang dipicu perbedaan latar belakang etnis, primordialisme, dan agama. Kesantunan, toleransi, dan sikap tepa selira juga telah meluntur. Kehebohan akan Negara Islam Indonesia juga salah satu sebabnya karena melemahnya Pancasila.
    Kita hendaknya harus belajar dari pengalaman silam kala negeri ini diguncang oleh Gerakan 30 September. Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila, kita mampu melewatinya.
    Untuk itu, menjadi tanggung jawab kita bersama dalam menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Pancasila harus menjadi inspirasi membangun kehidupan berbangsa dan bernegara serta kebersamaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perlu gerakan-gerakan terstruktur, sistematis, dan masif yang melibatkan semua pihak untuk merevitalisasi, menginternalisasi, dan mengimplementasikan nilai Pancasila. Semoga
PANCASILA adalah ideologi dasar negara Indonesia. Pancasila juga pedoman kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, selama ini Pancasila tidak pernah dilihat sungguh-sungguh sebagai ideologi bangsa Indonesia. Alhasil, nilai-nilai Pancasila mengalami ’’keterpinggiran’’ dari kehidupan masyarakat Indonesia sendiri.
    Dampaknya, negeri ini sangat mudah mengalami keguncangan-keguncangan moral akibat melemahnya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, di era keterbukaan dan globalisasi seperti sekarang sangat memungkinkan masuknya ideologi-ideologi lain.
    Ini tidak boleh dibiarkan. Sebab, akan memunculkan persoalan kebangsaan yang membawa ancaman terhadap kekuatan bangsa. Misalnya, konflik dan kekerasan sosial yang dipicu perbedaan latar belakang etnis, primordialisme, dan agama. Kesantunan, toleransi, dan sikap tepa selira juga telah meluntur. Kehebohan akan Negara Islam Indonesia juga salah satu sebabnya karena melemahnya Pancasila.
    Kita hendaknya harus belajar dari pengalaman silam kala negeri ini diguncang oleh Gerakan 30 September. Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila, kita mampu melewatinya.
    Untuk itu, menjadi tanggung jawab kita bersama dalam menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Pancasila harus menjadi inspirasi membangun kehidupan berbangsa dan bernegara serta kebersamaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perlu gerakan-gerakan terstruktur, sistematis, dan masif yang melibatkan semua pihak untuk merevitalisasi, menginternalisasi, dan mengimplementasikan nilai Pancasila. Semoga

Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa


Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa

Ada sebuah momen yang sangat langka sekaligus menggembirakan bagi persatuan dan kesatuan bangsa negeri ini pada peringatan hari lahir Pancasila di Gedung MPR beberapa waktu lalu. Momen tersebut yakni, berkumpulnya seluruh sisa pemimpin dan wakil pemimpin nomor satu dan dua dalam sejarah Indonesia.
Presiden ketiga BJ Habibie, presiden kelima Megawati Soekarnoputri serta presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lalu, ada juga para Wakil Presiden RI yakni Tri Sutrisno,Hamzah Haz dan Jusuf Kalla.

            Suatu keadaan menjadi riuh saat presiden kelima RI untuk pertama kalinya "mengakui" SBY sebagai Presiden Indonesia keenam. Hal itu terungkap ketika dia menyebut SBY sebagai Presiden Republik Indonesia pada awal sambutan pidatonya.
"Yang saya hormati Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono," kata Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan pidatonya tersebut. Tak pelak, sebutan Megawati Soekarnoputri itu disambut tepuk tangan riuh hadirin pada acara tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Megawati dan SBY berseteru sejak Pemilu 2004 silam, ketika SBY mundur dari kabinet Megawati Soekarnoputri. Pada pemilu itu, SBY-Jusuf Kalla akhirnya terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sejak itu, Megawati enggan bertemu SBY. Lalu, pada Pemilu 2009, SBY dan Megawati kembali saling berhadapan dalam pemilu. Tetapi lagi-lagi, Megawati kalah hanya dalam satu putaran.

            Pancasila pada orde baru dijadikan  sebagai tema sentral dalam menggerakkan seluruh komponen bangsa ini. Maka dirumuskanlah ketika itu  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disinghkat dengan P4. Pedoman itu  berupa butir-butir pedoman berbangsa dan bernegara.  Nilai-nilai yang ada pada butir-butir P4  tersebut sebenarnya tidak ada sedikitpun yang buruk atau ganjil, oleh karena itu,  menjadi mudah diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Hanya saja tatkala memasuki  era reformasi, oleh karena pencetus P4  tersebut adalah orang yang tidak disukai, maka buah pikirannya pun dipandang harus dibuang, sekalipun baik. P4 dianggap tidak ada gunanya. Rumusan P4 dianggap sebagai alat untuk memperteguh kekuasaan. Oleh karena itu, ketika penguasa yang bersangkutan jatuh, maka semua pemikiran dan pandangannya  dianggap tidak ada gunanya lagi, kemudian ditinggalkan.
            Sementara  itu,  era reformasi  belum berhasil  melahirkan  idiologi pemersatu bangsa yang baru.  Pada saat itu semangatnya adalah memperbaiki pemerintahan yang dianggap korup, menyimpang,  dan otoriter, dan  kemudian haraus  diganti dengan semangat demokratis. Pemerintah harus berubah dan bahkan undang-undang dasar 1945 harus diamandemen. Beberapa hal yang masih didanggap  sebagai identitas bangsa, dan harus dipertahankan  adalah bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia raya, dan  lambang Buirung Garuda. Lima prinsip dasar yang mengandung nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara,  yang selanjutnya disebut Pancasila, tidak terdengar lagi, dan apalagi P4.
            Namun setelah melewati sekian lama  masa reformasi, dengan munculnya idiologi baru, semisal NII dan juga lainnya, maka  memunculkan kesadaran baru, bahwa ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dianggap penting untuk digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap sebagai alat pemersatu bangsa yang tidak boleh dianggap sederhana hingga dilupakan. Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu, karena berisi cita-cita dan  gambaran tentang nilai-nilai ideal  yang akan diwujudkan oleh bangsa ini.
            Bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, terdiri atas berbagai agama, suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah,   menempati wilayah dan kepulauan yang sedemikian luas, maka  tidak mungkin berhasil disatukan tanpa alat pengikat.  Tali pengikat itu adalah cita-cita, pandangan hidup yang dianggap ideal yang dipahami, dipercaya dan bahkian  diyakini sebagai sesuatu yang mulia dan luhur. Memang setiap  agama  pasti memiliki ajaran tentang  gambaran kehidupan ideal,   yang  masing-masing berbeda-beda.  Perbedaan itu tidak akan mungkin  dapat dipersamakan. Apalagi, perbedaan  itu sudah melewati  dan memiliki sejarah panjang. Akan tetapi,  masing-masing pemeluk agama lewat para tokoh atau pemukanya,  sudah berjanji dan berekrar akan membangun negara kesatuan berdasarkan Pancasila itu. Memang  ada sementara pendapat,  bahwa agama akan bisa mempersatukan bangsa. Dengan alasan bahwa masing-masing agama selalu mengajarkan tentang persatuan, kebersamaan dan  tolong menolong, sebagai dasar hidup bersama. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit konflik  yang terjadi antara penganut agama yang berbeda.  Tidak sedikit orang merasakan  bahwa perbedaan selalu menjadi halangan untuk bersatu. Maka Pancasila, dengan sila pertama adalah  Ketuhanan Yang Maha Esa, merangkum dan sekaligus menyatukan  pemeluk agama yang berbeda itu.  Mereka yang berbeda-beda dari berbagai aspeknya itu  dipersatukan  oleh cita-cita dan kesamaan idiologi bangsa ialah Pancasila.    
            Itulah sebabnya, maka  melupakan Pancasila sama  artinya dengan mengingkari  ikrar, kesepakatan,  atau janji bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Selain  itu, juga dem ikian,  manakala muncul kelompok atau sempalan yang akan mengubah   kesepakatan itu, maka sama artinya dengan  melakukan pengingkaran sejarah dan  janji  yang telah disepakati bersama. Maka,  Pancasila adalah sebagai tali pengikat bangsa yang harus selalu diperkukuh  dan digelorakan pada setiap saat. Bagi bangsa Indonesia melupakan Pancasila, maka sama artinya dengan melupakan kesepakatan dan bahkan janji bersama itu.Oleh sebab itu, Pancasila, sejarah  dan  filsafatnya harus tetap diperkenalkan dan diajarkan kepada segenap warga bangsa ini, baik lewat pendidikan formal maupun non formal. Pancasila  memang hanya dikenal di Indonesia, dan tidak dikenal di negara lain. Namun hal itu tidak berarti, bahwa bangsa  ini tanpa Pancasila bisa seperti bangsa lain. Bangsa Indonesia memiliki sejarah, kultur, dan sejarah politik yang berbeda dengan bangsa lainnya. Keaneka-ragaman bangsa Indonesia memerlukan  alat pemersatu, ialah Pancasila


Pancasila=Pemersatu Bangsa
            Dengungan para pendiri negara saat menyatakan bahwa Pancasila sebagai pemersatu bangsa, ternyata bukan hanya isapan jempol belaka. Hal ini telah membuktikan bahwa Pancasila dapat membawa perubahan besar dalam mempersatukan bangsa di republik ini.
Duduk bersama dengan tidak melihat warna politik tertentu antar para pemimpin merupakan sebuah momen yang sangat langka dalam perpolitikan kita. Tentu sangat jelas bahwa pada peringatan Pancasila tersebut dapat mempersatukan para insan pemimpin negeri ini untuk satu tekad dan berkomitmen satu yakni memajukan negara kesatuan Republik Indonesia.

            Sejak awal reformasi digulirkan, negeri kita seakan tidak berdaya akibat kebablasan dalam berdemokrasi. Saling rebut merebut kekuasaan dengan berbagai cara kotor perpolitikan adalah hal yang seakan telah menjadi lumrah. Maka tak heran bangsa kita dikhawatirkan dapat terpecah belah akibat perburuan kekuasaan tersebut. Kini, Pancasila seakan telah mempersatukan bangsa yang telah terancam perpecahan antar kelompok.
Ideologi mempersatukan bangsa dalam Pancasila tertuang dalam sila ketiga yakni "Persatuan Indonesia". Para pendiri negara, Pancasila sesungguhnya dirumuskan untuk dapat memperkuat tali persatuan bangsa yang terbentang sangat luas di seluruh nusantara. Bahkan, dengan kehadiran Pancasila, negeri kita dapat mencegah segala aksi separatis dan radikalisme yang semakin marak dalam dasawarsa terakhir ini.
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan naskah asli yang hingga saat ini tidak berubah sedikitpun meskipun rezim kepemimpinan silih berganti dan konstitusi dapat berubah. Tentu saja Pancasila dapat menjadi magnet yang mempererat tali persatuan bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila "Persatuan Indonesia" yakni, (1) Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. (2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. (3) Cinta Tanah Air dan Bangsa. (4) Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia. (5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Degradasi Pancasila
            Sudah menjadi perbincangan yang hangat di tengah kehidupan berbangsa kita saat ini bahwa Pancasila dalam keadaan yang sangat menghawatirkan dan terjadi degradasi pemahaman dan pengamalan Pancasila oleh bangsa kita. Sesungguhnya apa yang mendasari bahwa Pancasila tidak lagi diamalkan oleh bangsa Indonesia? Salah satunya yakni pengajaran dalam pendidikan kita tidak lagi mengenal akan pentingnya pendidikan muatan Pancasila dari segala tingkat pendidikan.

Telah menjadi hal yang bernuansa modern bahwa pendidikan modern dengan tren internasional selalu dikedepankan dengan penguatan pendidikan berbasis sains dan teknologi. Tidak salah memang apabila dunia pendidikan berbasis sains dan teknologi, mengingat kemajuan dan pesatnya dunia informasi di tengah arus globalisasi. Akan tetapi, pendidikan tersebut segalanya akan ambruk manakala pengajaran terhadap Pancasila tidak dikenal dan diamalkan. Sebab, dalam pemahaman Pancasila terdapat nilai-nilai Ketuhanan, sikap kebersamaan, saling tolong-menolong, toleransi, bersahaja, mempunyai kepekaan sosial, berakhlak mulia, serta berakidah.


            Tentu saja apabila sikap tersebut terpancar dalam diri seorang, maka segala tingkah laku dan perbuatan orang tersebut dapat lebih bermartabat dan berakhlak mulia untuk mengarungi kehidupan. Berbeda halnya dengan pendidikan yang hanya mengedepankan sains. Meskipun melek dalam teknologi, tetapi apabila tidak adanya pemahaman terhadap pendidikan Pancasila, dikhawatirkan seorang tersebut akan bertindak negatif dan berperilaku menyimpang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini

            Degradasi Pancasila memang telah dialami negara kita saat ini. Perilaku korupsi secara jamak, saling berebut kekuasaan dengan berbagai cara kotor, para pemimpin yang sering menzholimi rakyatnya, serta berbagai tindak kekerasan dan kejahatan yang tiada henti-hentinya membuktikan bahwa nilai Pancasila belum diamalkan oleh bangsa kita. Kemudian, hal lain diperparah dengan segala aksi yang bukannya membuat perubahan lebih baik, melainkan hanya memperkeruh dan memudarkan persatuan bangsa.

            Kini, sudah selayaknya Pancasila harus direvitalisasikan dalam kehidupan bernegara di seluruh lapisan masyarakat kita agar segala tindakan dan perilaku para penyelenggara negara dan juga warga negara sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam Pancasila. Sebab, dengan mengamalkan Pancasila, negeri kita dapat memperkokoh tali persatuan dan kesatuan bangsa

Minggu, 06 Mei 2012

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja

  Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.

   Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.

   Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

   Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.

   Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.

   Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

   Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.

   Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai,  keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

   Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.

   Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian
Aneka warna materi yang menjadi isi dan sasaran dari pengetahuan, perasaan, kehendak, serta keinginan kepribadian serta perbedaan kualitas hubungan antara berbagai unsur kepribadian dalam kesadaran individu, menyebabkan adanya beraneka macam struktur kepribadian pada setiap manusia yang hidup di muka bumi, unik dan berbeda dengan kepribadian individu yang lain.
Diantara aneka warna materi tersebut ada yang menyebabkan terjadinya satu tingkah laku berpola disebut dengan kebiasaan (habit), menyebabkan timbulnya adat-istiadat (customs) yang dalam hal ini bermakna sebagai suatu pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh sebagian besar warga suatu masyarakat, materi yang menyebabkan timbulnya kepribadian (personality), serta segala macam tingkah-laku yang menjadi pola umum bagi sebagian besar masyarakat yang diatur dalam adat-istiadat (kepribadian umum), biasanya berwujud pola-pola tindakan yang saling berkaitan satu dengan lain itu, biasanya disebut dengan sistem sosial (social system).
Kepribadian umum (modal personality) adalah kepribadian yang ada pada sebagian besar warga suatu masyarakat, yang disebut juga dengan istilah watak umum.Pembentukan kepribadian seseorang berlangsung dalam suatu proses yang disebut dengan sosialisasi, yaitu suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah-dagingkan-internalize) norma-norma kelompok dimana ia hidup sehingga muncullah dirinya yang “unik”.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian sebagai proses sosialisasi mencakup:
1. Warisan biologis.
2. Lingkungan fisik.
3. Kebudayaan.
4. Pengalaman kelompok.
5. pengalaman unik.
A. Warisan Biologis
Semua manusia yang normal dan sehat mempunyai persamaan biologis tertentu, seperti mempunyai dua tangan, panca indera, kelenjar seks, dan otak yang rumit. Persamaan biologis ini membantu menjelaskan beberapa persamaan dalam kepribadian dan perilaku semua orang,Setiap warisan biologis seserang juga bersifat unik, yang berarti, bahwa tidak seorang pun (kecuali anak kembar) yang mempunyai karakteristik fisik yang hampir sama, Beberapa orang percaya bahwa kepribadian seseorang tidak lebih dari sekedar penampilan warisan biologisnya. Karakteristik kepribadian seperti ketekunan, ambisi, kejujuran, kriminalitas, kelainan seksual, dan ciri yang lain dianggap timbul dari kecenderungan-kecenderungan turunan.
Bahkan ada yang beranggapan, melalui tampilan fisik dapat diketahui bagaimana kepribadian orang tersebut. Contoh dalam hal ini dapat dilihat dalam buku-buku primbon Jawa, mulai dari fisik, rambut, kulit, bentuk muka, hingga tahi lalat.
Dewasa ini tidak banyak lagi yang masih mempercayai anggapan ini. Pandangan sekarang ini menyatakan bahwa kepribadian seseorang dibentuk oleh pengalaman. Sebenarnya perbedaan individual dalam kemampuan, prestasi, dan perilaku hampir semuanya berhubungan dengan lingkungan, dan bahwa perbedaan individu dalam warisan biologis tidak begitu penting, Fenomena kontradiktif ini, antara “bawaan dan asuhan”, berlangsung cukup lama, dan masing-masing memiliki penganut yang cukup besar. Suatu penelitian terhadap 2.500 anak kembar siswa SLTA merupakan salah satu langkah untuk mencari derajat kebenaran dari masing-masing anggapan dikemukakan oleh Nichols (1977), hasilnya menyimpulkan bahwa hampir setengah variasi di antara orang-orang dalam spektrum ciri-ciri psikologis yang luas adalah akibat dari perbedaan karakteristik genetis, sedangkan setengahnya lagi adalah akibat lingkungan.
Penelitian lain dilaksanakan Medico-genetical Institute di Moskow, yang memisahkan seribu pasangan anak kembar ketika masih bayi dan menempatkan mereka dalam lingkungan yang terkendali untuk diamati selama 2 tahun. Hasilnya mendukung dengan jelas suatu dasar keturunan dalam beberapa ciri, termasuk perbedaan kecerdasan, Masalah warisan biologis/keturunan versus lingkungan pada dasarnya bukan hanya masalah ilmiah, tetapi juga politis. Seperti gusarnya golongan Marxis (penganut ajaran Marx) melihat bukti bahwa ada perbedaan dalam kecakapan bawaan, kalangan konservatif (kolot, konvensional, tradisional) yang dengan senang hati menggunakan bukti kecakapan warisan yang berbeda untuk memperoleh hak yang berbeda, Perbedaan individual dalam warisan biologis adalah nyata, terlepas dari apakah kenyataannya demikian menyebabkan seseorang bahagia atau tidak. Untuk beberapa ciri, warisan biologis lebih penting daripada yang lain. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa IQ anak angkat lebih mirip dengan IQ orang tua kandungnya daripada dengan orang tua angkatnya (Horton, 1993). Namun, meskipun perbedaan individual dalam IQ tampaknya lebih banyak ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan, banyak perbedaan yang lainnya ditentukan oleh lingkungan. Suatu studi baru-baru ini menemukan bukti bahwa faktor keturunan berpengaruh kuat terhadap keramah-tamahan, perilaku kompulsif (memaksa) dan kemudahan dalam pergaulan sosial, tetapi faktor keturunan tidak begitu penting dalam kepemimpinan, pengendalian dorongan impulsif (cepat bertindak), sikap, dan minat.
Kesimpulannya, bahwa warisan biologis penting dalam beberapa ciri kepribadian dan kurang penting dalam hal-hal lain. Tidak ada kasus yang dapat mengukur pengaruh keturunan dan lingkungan dengan tepat, tetapi banyak ilmuwan sependapat bahwa apakah potensi warisan seseorang berkembang sepenuhnya, sangat dipengaruhl oleh pengalaman sosial orang yang bersangkutan, Beberapa orang berpandangan bahwa orang gemuk adalah periang, bahwa orang dengan kening yang lebar cerdas, bahwa orang berambut merah berwatak mudah meledak/marah, bahwa orang dengan rahang lebar mempunyai kepribadian yang kuat. Banyak keyakinan umum seperti itu telah terbukti tidak benar ketika diuji secara empiris, meskipun kadang-kadang ditemukan beberapa hubungan yang absah, Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Bar (1977) dengan membandingkan kelompok sampel berambut merah dengan suatu kelompok kendali yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai warna rambut dan melaporkan bahwa watak si rambut merah umumnya memang lebih sering meledak-ledak dan agresif. la mengemukakan adanya hubungan genetis antara karakteristik fisik (rambut merah) dengan karakteristik kepribadian (mudah meledak, agresif).
Penjelasan lain menyatakan bahwa setiap karakteristik fisik didefinisikan secara sosial dan kultural dalam setiap masyarakat (Horton, 1993). Misalkan, gadis gemuk dikagumi di Dahomey. Suatu karakteristik fisik dapat menjadikan seseorang cantik dalam suatu masyarakat dan menjadi “anak bebek buruk rupa” dalam masyarakat lain. Oleh karena itu, karakteristik fisik tertentu menjadi suatu faktor dalam perkembangan kepribadian sesuai dengan bagaimana ia didefinisikan dan diperlakukan dalam masyarakat dan oleh kelompok acuan seseorang. Kalau orang berambut merah diharapkan mudah meledak dan dibenarkan kalau marah, tidak mengherankan bila mereka menjadi pemarah. Sebagaimana dinyatakan diatas, orang menanggapi harapan perilaku dari orang lain dan cenderung menjadi berperilaku seperti yang diharapkan oleh orang lain tersebut, Sebagai kesimpulan, karakteristik fisik jarang menghasilkan sifat-sifat perilaku tertentu, harapan sosial dan kulturallah yang menyebabkannya
demikian.
B. Lingkungan Fisik
Sorokin (1928) menyimpulkan teori beratus-ratus penulis dari Conficius, Aristoteles, dan Hipocrates sampai kepada ahli geografi Ellsworth Huntington, yang menekankan bahwa perbedaan perilaku kelompok terutama disebabkan oleh perbedaan iklim, topografi, dan sumber alam. Teori tersebut sesuai benar dengan kerangka etnosentris (pandangan yang menyatakan anggota badan kita lebih baik dibandingkan dengan lainnya, karena geografi memberikan keterangan yang cukup baik dan jelas objektif terhadap kebajikan nasional dan sifat-sifat buruk orang lain, Pada umumnya diakui bahwa lingkungan fisik mempengaruhi kepribadian. Bangsa Athabascans memiliki kepribadian yang dominan yang menyebabkan mereka dapat bertahan hidup dalam iklim yang lebih dingin daripada daerah Arctic.
Orang pedalaman Australia harus berjuang dengan gigih untuk tetap hidup, padahal bangsa Samoa hanya memerlukan sedikit waktu setiap harinya untuk mendapatkan lebih banyak makanan daripada yang bisa mereka makan. Malah sekarang beberapa daerah hanya dapat menolong sebagian kecil penduduk yang tersebar sangat jarang, dan kepadatan penduduk mempengaruhi kepribadian. Suku Ik dari Uganda sedang mengalami kelaparan secara perlahan, karena hilangnya tanah tempat perburuan tradisional, dan menurut Turnbull (1973) mereka menjadi sekelompok orang yang paling tamak, paling rakus di dunia; sama sekali tidak memiliki keramahan, tidak suka menolong atau tidak mempunyai rasa kasihan, malah merebut makanan dari mulut anak mereka dalam perjuangan mempertahankan hidup. Suku Quolla dari Peru digambarkan oleh Trotter (1973) sebagai sekelompok orang yang paling keras di dunia, dan ia menghubungkan hal ini dengan hipoglikemia (menurunnya kandungan glukosa darah) yang timbul karena kekurangan makanan, Jelaslah bahwa lingkungan fisik mempengaruhi kepribadian dan perilaku. Namun, dari lima faktor tersebut di atas, lingkungan fisik merupakan faktor yang paling tidak penting, jauh kurang pentingnya dari faktor kebudayaan, pengalaman kelompok, atau pengalaman unik.
C. Kebudayaan
Beberapa pengalaman umum bagi seluruh kebudayaan, dimana bayi dipelihara atau diberi makan oleh orang yang lebih tua, hidup dalam kelompok, belajar berkomunikasi melalui bahasa, mengalami hukuman dan menerima imbalan/pujian dan semacamnya, serta mengalami pengalaman lain yang umum dialami oleh jenis manusia, Setiap masyarakat sebenarnya memberikan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial yang sebenarnya yang umum bagi seluruh anggota masyarakat tertentu, timbullah konfigurasi kepribadian yang khas dari anggota masyarakat tersebut. DuBois menyebutnya sebagai “modal personality” (diambil dari istilah statistis “mode” yang mengacu pada suatu nilai yang paling sering timbul dalam berbagai seri).
Beberapa contoh dari pengaruh unsur kebudayaan terhadap kepribadian, sebagaimana kasus suku Dobu di Melanisia (Horton, 1993). Anak suku Dobu yang lahir ke dunia hanya pamannya yang mungkin menyayanginya, terhadap siapa ia akan menjadi ahli warisnya, Ayahnya yang lebih tertarik kepada anak-anak saudara perempuannya biasanya membencinya, karena si ayah harus menunggu sampai anak tersebut disapih untuk dapat melakukan hubungan seksual dengan ibunya. Sering juga ia tidak diharapkan oleh ibunya dan tidak jarang terjadi pengguguran, Hidup suku Dobu diatur oleh ilmu sihir, penyebab kejadian bukan berasal dari alam; semua gejala dikendalikan oleh ilmu sihir yang telah dikenakan terhadap seseorang dan menyebabkan balas dendam dari keluarganya. Bahkan mimpipun diinterpretasikan sebagai sihir. Malah nafsu seksual tidak akan muncul apabila tidak menanggapi penyihiran cinta orang lain, yang membimbingnya menuju kepadanya, sementara daya sihir cinta seseorang menunjukkan keberhasilannya. Setiap orang Dobu selalu merasa takut akan diracun. Makanan dijaga dengan waspada pada waktu dimasak dan hanya dengan beberapa orang tertentulah orang Dobu bersedia makan bersama. Setiap saat setiap desa melindungi diri dari semua pasangan yang berkunjung dari desa lain, dan semua tamu ini tidak dapat dipercayai oleh yang punya rumah dan para tamu sendiri tidak saling percaya. Sungguh tidak seorang pun dapat dipercaya penuh; para suami cemas terhadap sihir isterinya dan takut terhadap mertua. Sepintas lalu, hubungan sosial di Dobu adalah cerah dan sopan meskipun keras dan tanpa humor. Pertentangan hanyalah sedikit, karena menghina atau bermusuhan berbahaya. Namun, teman-teman juga berbahaya. Persahabatan mungkin merupakan awal pengracunan atau pengumpulan bahan (rambut, kuku tangan) yang berguna untuk menyihir.
Kepribadian yang berkembang dalam kebudayaan semacam itu? setiap orang Dobu bersifat bermusuhan, curiga, tidak dapat dipercaya, cemburu, penuh rahasia, dan tidak jujur. Sifat-sifat ini merupakan tanggapan yang rasional, karena orang Dobu hidup dalam dunia yang penuh kejahatan, dikelilingi musuh dan tukang sihir, Pada akhirnya mereka yakin akan dihancurkan. Walaupun mereka melindungi diri dengan sihir mereka, tetapi mereka tidak pemah merasakan perlindungan yang nyaman. Mimpi buruk mungkin menyebabkan mereka terkapar di tempat tidur berhari-hari. dan ini adalah suatu hal yang nyata, benar bukan hayalan/irasional, Contoh kasus lain adalah yang terjadi pada suku Zuni di Meksiko, yang diidentifikasikan sebagai bangsa yang tenang dalam lingkungan yang sehat secara emosional. Kelahiran anak disambut dengan hangat, diperlakukan dengan kemesraan yang lembut dan banyak mendapat kasih sayang. Tanggung jawab dalam mendidik anak sungguh besar dan menyebar; seorang anak akan ditolong atau diperhatikan oleh setiap orang dewasa yang ada. Menghadapi benteng orang dewasa yang terpadu, anak-anak jarang berperilaku salah; dan sekalipun mungkin dikata-katai, tetapi jarang dihukum. Rasa malu adalah alat kendali yang paling utama yang sangat sering ditimbulkan di depan orang lain, Berkelahi dan perilaku agresif sangat tidak disetujui dan orang Zuni dididik untuk mengendalikan nafsu mereka pada usia muda. Pertengkaran terbuka hampir tidak tampak. Nilai-nilai orang Zuni menekankan hormat, kerja sama dan ketiadaan persaingan, agresivitas atau keserakahan. Ketidakwajaran dalam segala bentuk ditolak, dan alkohol umumnya ditolak karena mendorong perilaku yang tidak wajar. Harta dinilai untuk penggunaan langsung, bukan untuk prestise atau simbol kekuasaan.
Walaupun orang Zuni tidak ambisius, mereka memperoleh kekuasaan melalui pengalaman dalam upacara, nyanyian, dan fetis agama. Seorang yang “miskin” bukanlah orang yang tidak memiliki harta, tetapi orang yang tidak memiliki sumber dan hubungan yang bersifat upacara (seremonial). Kehidupan upacara memenuhi setiap segi kehidupan orang Zuni.
Kerja sama, perilaku yang wajar dan minimnya individualisme meresap dalam perilaku orang Zuni. Milik pribadi tidaklah penting dan siap untuk dipinjamkan pada orang lain. Anggota rumah tangga yang bersifat matrilineal bekerja bersama sebagai suatu kelompok dan hasil tanaman disimpan dalam gudang umum. Setiap orang bekerja untuk kepentingan
kelompok, bukan untuk kepentingan pribadi. Peran pemimpin jarang dicari tetapi harus dipaksakan pada seseorang. Isyu dan perselisihan diselesaikan secara wajar bukan dengan permohonan pada penguasa atau dengan mempertunjukkan kekuasaan atau dengan perdebatan yang berkepanjangan, tetapi dengan diskusi yang lama dan sabar. Keputusan mayoritas sederhana tidak menyelesaikan persoalan secara menyenangkan, kesepakatan (konsensus) perlu dan kesepakatan bulat diharapkan.
Bagaimana perkembangan kepribadian orang Zuni? sangat bertentangan dengan kepribadian normal di antara orang Dobu. Bila bangsa Dobu bersifat curiga dan tidak dapat dipercaya, bangsa Zuni mempunyai kepercayaan diri dan dapat dipercaya; bila bangsa Dobu cemas dan merasa tidak aman, bangsa Zuni merasa aman dan tentram. Bangsa Zuni umumnya memiliki watak yang suka mengalah dan pemurah, sopan dan suka bekerja sama. Bangsa Zuni adalah orang-orang konformis yang tanpa pikir, karena menjadi seseorang yang nyata-nyata berbeda dari orang lain dapat menyebabkan seseorang atau kelompok itu sangat cemas. Hal ini membantu mengendalikan perilaku tanpa perasaan berdosa dan bersalah yang banyak ditemukan dalam banyak masyarakat, Bertolak dari contoh di atas, dapat diketahui ada beberapa segi dari kebudayaan yang mempengaruhi proses perkembangan kepribadian, yaitu norma-norma kebudayaan masyarakat dan proses sosialisasi diri, Norma-norma kebudayaan yang ada dalam lingkungan masyarakat mengikat manusia sejak saat kelahirannya. Seorang anak diperlakukan dalam cara-cara yang membentuk kepribadian. Setiap kebudayaan menyediakan seperangkat pengaruh umum, yang sangat berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Linton mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan masyarakat, Pengaruh-pengaruh ini berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain, tetapi semuanya merupakan denominator pengalaman bagi setiap orang yang termasuk ke dalam masyarakat tersebut.
Penelitian dalam soal perkembangan kepribadian dalam kebudayaan juga telah gagal dalam membuktikan teori Freud tentang hasil cara mengasuh anak yang khusus. Dimana hasilnya menunjukkan bahwa suasana lingkungan keseluruhan merupakan hal penting dalam perkembangan kepribadian, bukan cara tertentu yang spesifik. Apakah seorang anak diberi susu ASI atau susu botol, tidaklah penting; yang penting adalah apakah cara pemberian susu itu dilakukan dalam kondisi yang merupakan suasana mesra dan penuh kasih sayang dalarn dunia yang hangat dan aman; atau kejadian biasa yang terburu-buru dalam situasi yang tanpa perasaan, kurang tanggap dan tidak akrab, Seorang bayi lahir ke dunia ini sebagai suatu organisme kecil yang egois yang penuh dengan segala macam kebutuhan fisik. Kemudian ia menjadi seorang manusia dengan seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan ketidaksukaan, tujuan serta maksud, pola reaksi, dan konsep yang mendalam serta konsisten tentang dirinya. Setiap orang memperoleh semua itu melalui suatu proses yang disebut sosialisasi.
Sosialisasi adalah suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah dagingkan-internalize) norma-nonna kelompok di mana ia hidup sehingga timbullah “diri” yang unik.
D. Pengalaman Kelompok
Pada awal kehidupan manusia tidak ditemukan apa yang disebut diri. Terdapat organisme fisik, tetapi tidak ada rasa pribadi. Kemudian bayi mencoba merasakan batas-batas tubuhnya, mereka mulai mengenali orang. Kemudian beranjak dari nama yang membedakan status menjadi nama yang mengidentifikasi individu, termasuk dirinya. Kemudian mereka menggunakan kata “saya” yang merupakan suatu tanda yang jelas atas kesadaran diri yang pasti. Suatu tanda bahwa anak tersebut telah semakin sadar sebagai manusia yang berbeda dari yang lainnya, Dengan kematangan fisik serta akumulasi pengalaman-pengalaman sosialnya anak itu membentuk suatu gambaran tentang dirinya. Pembentukan gambaran diri seseorang mungkin merupakan proses tunggal yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian, Pengalaman sosial merupakan suatu hal penting untuk pertumbuhan manusia. Perkembangan kepribadian bukanlah hanya sekedar pembukaan otomatis potensi bawaan. Tanpa pengalaman kelompok, kepribadian manusia tidak berkembang. Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia membutuhkan pengalaman kelompok yang intim bila mereka ingin berkembang sebagai makluk dewasa yang normal.
Keberadaan kelompok dalam masyarakat merupakan suatu hal penting dalam perkembangan kepribadian seseorang, karena kelompokkelompok ini merupakan model untuk gagasan atau norma-norma perilaku seseorang. Kelompok semacam itu disebut kelompok acuan (reference group). Mula-mula kelompok keluarga adalah kelompok yang terpenting, karena kelompok ini merupakan kelompok satu-satunya yang dimiliki bayi selama masa-masa yang paling peka. Semua yang berwenang setuju bahwa ciri-ciri kepribadian dasar dari individu dibentuk pada tahun-tahun pertama ini dalam lingkungan keluarga. Kemudian, kelompok sebaya (peer group), yakni kelompok lain yang sama usia dan statusnya, menjadi penting sebagai suatu kelompok referens. Kegagalan seorang anak untuk mendapatkan pengakuan sosial dalam kelompok sebaya sering diikuti oleh pola penolakan sosial dan kegagalan sosial seumur hidup. Apabila seorang belum memiliki ukuran yang wajar tentang penerimaan kelompok sebaya adalah sulit, kalau tidak dapat dikatakan mustahil, bagi seorang untuk mengembangkan gambaran diri yang dewasa sebagai seorang yang berharga dan kompeten, Kelompok acuan ini dalam perkembangannya mengalami pergantian seiring dengan usia dan aktifitas individu yang bersangkutan. Hanya perlunya disadari bahwa dari ratusan kemungkinan kelompok referens yang menjadi penting bagi setiap orang dan dari evaluasi kelompok ini gambaran diri seseorang secara terus-menerus dibentuk dan diperbaharui, Oleh karena itu, tidaklah salah kalau dikatakan bahwa setiap individu bisa menjadi acuan atau referens bagi individu lainnya dalam pembentukan kepribadian yang bersangkutan, demikian juga sebaliknya, Masyarakat yang kompleks/majemuk memiliki banyak kelompok dan kebudayaan khusus dengan standar yang berbeda dan kadangkala bertentangan. Seseorang dihadapkan pada model-model perilaku yang pada suatu saat dipuji sedang pada saat lain dicela atau disetujui oleh beberapa kelompok dan dikutuk oleh kelompok lainnya. Dengan demikian seorang anak akan belajar bahwa ia harus “tangguh” dan mampu untuk “menegakkan haknya”, namun pada saat yang sama ia pun harus dapat berlaku tertib, penuh pertimbangan dan rasa hormat. Dalam suatu masyarakat di mana setiap orang bergerak dalam sejumlah kelompok dengan standar dan nilai yang berbeda, setiap orang harus mampu menentukan cara untuk mengatasi tantangan-tantangan yang serba bertentangan.


E. Pengalaman yang Unik
Mengapa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sama sedemikian berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang sama? Masalahnya adalah karena mereka tidak mendapatkan pengalaman yang sama; mereka pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam beberapa hal lainnya, Setiap anak memasuki suatu unit/kesatuan keluarga yang berbeda. Anak yang dilahirkan pertama, yang merupakan anak satu-satunya sampai kelahiran anak yang kedua, kemudian akan mempunyai adik laki-laki atau perempuan dengan siapa ia dapat bertengkar. Orang tua berubah dan tidak memperlakukan sama semua anak-nya. Anak-anak memasuki kelompok sebaya yang bebeda, mungkin mempunyai guru yang berbeda dan berhasil melampaui peristiwa yang berbeda pula, Sepasang anak kembar mempunyai warisan (heredity) yang identik dan (kecuali bila dipisahkan) lebih cenderung memperoleh pengalaman yang sama. Mereka berada dalam suatu keluarga bersama-sama, seringkali mempunyai kelompok sebaya yang sama, dan diperlakukan kurang lebih sama oleh orang lain; akan tetapi bahkan anak kembar pun tidakalami bersama seluruh peristiwa dan pengalaman. Karena pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada persamaannya. Pengalaman sendiripun tidak ada yang secara sempurna dapat menyamainya.
Suatu inventarisasi dari pengalaman sehari-hari berbagai anak-anak dalam suatu keluarga yang sama akan mengungkapkan banyaknya perbedaan. Maka setiap anak (terkecuali anak kembar yang identik) mempunyai warisan biologis yang unik, yang benar-benar tidak seorangpun dapat mehyamainya, dan demikian pula halnya suatu rangkaian pengalaman hidup yang unik tidak dapat benar-benar disamai oleh pengalaman siapapun, Pengalaman tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Kepribadian tidaklah dibangun dengan menyusun suatu peristiwa di atas peristiwa lainnya sebagaimana membangun tembok bata. meniru satu sama lainnya, akan tetapi mereka juga berusaha untuk memiliki identitas sendiri. Anak-anak yang lebih muda seringkali menolak kegiatan yang telah dikerjakan dengan baik oleh kakak-kakaknya, dan mencari pengakuan melalui kegiatan-kegiatan lainnya. Tanpa disadari, orang tua membantu proses seleksi ini. Seorang ibu dapat mengatakan, “Susi si kecil adalah pembantu mama, tetapi aku pikir Anna akan menjadi anak perempuan yang kelaki-lakian”, ketika Susi mulai merapikan meja, sedangkan Anna sedang berjumpalitan di tangga, Jadi dalam hubungan ini dan dalam banyak hal lainnya setiap pengalaman hidup seseorang adalah unik. Unik dalam pengertian tidak seorangpun mengalami serangkaian pengalaman seperti ini dengan cara yang persis sama dan unik dalam pengertian bahwa tidak seorangpun mempunyai latar belakang pengalaman yang sama, setiap peristiwa baru akan menimbulkan pengaruh yang akan dapat diperoleh suatu makna.